‘Mencairnya’ Kuasa: Sastra, Subjektivitas Cair, dan Resistensi terhadap Kuasa Budaya dan Negara dalam Perspektif Poskolonial
Abstract
Artikel ini, dengan orientasi konseptual-teoretis dan metodologis, akan membahas cairnya kuasa budaya dan negara dalam struktur naratif sastra, dengan menggunakan pendekatan poskolonial. Narasi sastra bisa diposisikan sebagai produk representasi yang menghadirkan subjektivitas cair, berupa tokoh naratif dan wacana partikular, terkait permasalahan sosial-budaya, khususnya hibriditas kultural. Kehadiran modernitas dan berlangsungnya praktik budaya tradisional dalam masyarakat pascakolonial menyebabkan timbul permasalahan tersebut. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa subjektivitas cair, di satu sisi, bisa memunculkan wacana emansipasi untuk memberdayakan masyarakat lokal dan, di sisi lain, bisa memunculkan resistensi terhadap kuasa berbasis budaya tersebut. Oposisi biner antara Barat dan Timur menjadi sangat cair, karena subjek poskolonial bisa menggunakan pemikiran modern untuk mendekonstruksi keutuhan modernitas maupun keutuhan budaya tradisional. Namun, ketika negara menerapkan neoliberalisme, subjektivitas cair dan hibriditas kultural perlu ditafsir-ulang. Kuasa budaya tradisi dan negara akan mendapatkan pemaknaan-baru dan resistensi; karena prinsip kebebasan individual dalam hukum pasar menuntut kehadiran minimum kedua entitas tersebut. Kondisi itu memunculkan peluang untuk mengkritisi dan memodifikasi kajian poskolonial.
Kata kunci: struktur naratif, subjektivitas cair, resistensi, kajian poskolonial, neoliberalisme
Full Text:
PDFReferences
Berkalung Surban. Yogyakarta: Penerbit Arti Bumi
Intaran.
England, Kim & Kevin Ward (eds). 2007. Neoliberalization: States, Networks and Peoples.
Oxford: Blackwell Publishing.
Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press.
pandang kehidupan yang sangat personal dari
tokoh naratif. Poskolonialisme sebagai perspektif
memberikan peluang untuk melakukan hal itu,
sekaligus memberikan peluang kepada para
pengkaji untuk memodifikasinya secara terusmenerus
sehingga ia akan bersifat dinamis dan
tidak gagap dalam memahami formasi diskursif
neoliberal.
Catatan akhir:
Safran (dalam Král, 2009: 13) menjelaskan bahwa konsep diaspora bisa diterapkan kepada komunitas minoritas ekspatriat
yang memiliki beberapa karakteristik berikut: (1) mereka, atau nenek-moyang mereka, berasal dari sebuah ‘pusat’ asal
spesifik menuju dua atau lebih wilayah asing; (2) mereka mempertahankan memori, mitos, atau pandangan kolektif
tentang tanah air—lokasi, sejarah, dan capaian-capaiannya; (3) mereka meyakini bahwa mereka tidak bisa diterima
sepenuhnya oleh masyarakat induk sehingga merasa sebagian terasing dan terisolasi darinya; (4) mereka menghormati
tanah air moyang sebagai rumah dan tempat ideal ke mana mereka atau keturunan mereka akan (atau seharusnya)
kembali pada akhirnya—ketika kondisi memungkinkan; (5) mereka meyakini bahwa mereka harus secara kolektif
berkomitmen kepada keberlangsungan atau restorasi tanah air mereka, untuk keamanan dan kemakmuran; dan (6)
mereka terus menghubungkan diri dengan tanah air sehingga kesadaran dan solidaritas etnokomunal didefinisikan oleh
hubungan itu.
Tesis utama yang diusung dalam ekonomi-politik adalah bahwa basis ekonomi dan produksi akan menentukan
superstructure—ideologi, agama, relasi sosial, politik maupun budaya. Kelas pemodal dengan kemampuan modal dan alat
produksinya menggerakkan mekanisme dan modal produksi yang melibatkan kreator dan buruh dalam organisasi dan
praktik kerja untuk menciptakan benda-benda industrial yang mempunyai nilai tukar dan nilai guna serta bisa memenuhi
kebutuhan konsumen melalui proses sirkulasi, distribusi, dan konsumsi yang menyebabkan perubahan orientasi ideologi
masyarakat sehingga mengakibatkan perubahan pada struktur dan praktik sosio-kultural (Lihat, Marx, 1991, 1992;
Lebowitz, 2002; Wood, 2002).
Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan neoliberalisme sebagai ekonomi-politik global, yakni: [a] kesiapan
aparatus intelektual, institusi, dan strategi gerakan untuk penyebarannya secara internasional (Plehwe dan Walpen, 2006:
--45; Carroll & Carson, 2006: 52--68; Weller dan Singleton, 2006: 71--85); [b] eksploitasi ekonomi dan ketergantungan
teknologi dan kultural menciptakan elit-elit nasional yang berada dalam kuasa institusi kapitalisme internasional serta
memperkuat mekanisme pasar bebas, sehingga menyebabkan amnesia historis dan politis (Bhabha dan Comaroff, 2002:
; Kappor, 2008: 4--6); dan [c] desakan institusi keuangan internasional kepada negara-negara pascakolonial untuk
mengadopsi neoliberalisme karena diasumsikan lebih menjanjikan kesejahteraan bagi warga negara (Hindess, 2004).
Sebagai ideologi dan gerakan, liberalisme mengidealisasi berkembangnya kebebasan, individu-individu akan mempunyai
kemampuan untuk menilai, bersikap kritis, dan mempermasalahkan nilai-nilai komunitas yang mengikat mereka, sehingga
mereka akan memiliki pilihan-pilihan otonom individual dalam menjalani hidup—apakah harus menggunakan sebagian
budaya komunitas yang sesuai dengan situasi terkini atau menggunakan budaya baru yang lebih bisa mensejahterakan.
Menguatnya kebebasan dan diri-otonom dalam masyarakat akan memberikan individu-individu peluang baru untuk
menemukan dan memaknai subjektivitas mereka di tengah-tengah kuasa modernitas dengan menggunakan piluhan yang
bisa diterima nalar dan bisa mendukung pencapaian idealitas dalam kehidupan (Lihat, Stopford, 2009: 1, 30--31).
“Mencairnya” Kuasa ..... (Ikwan Setiawan) 11
Hindess, Barry. 2004. “Liberalism – what’s in a name?”, dalam Wendy Larner & William
Walters (eds). Global governmentality: Governing international spaces. London: Routledge:
hlm. 23--39.
Král, Françoise. 2009. Critical Identities in Contemporary Anglophone Diasporic Literature.
London: Palgrave MacMillan.
McGuigan, Jim. 1999. Modernity and Postmodern Culture. London: Sage Publications
Mishra, Vijay. 2007. The Literature of the Indian Diaspora Theorizing the diasporic imaginary.
London: Routledge.
Munck, Ronaldo.2005. “Neoliberalism and Politics, and the Politics of Neoliberalism”, dalam
Alfredo Saad-Filho & Deborah Johnston (eds). Neoliberalism: Critical Reader. London:
Pluto Press: hlm. 60--69.
Saad-Filho, Alfredo & Deborah Johnston (eds). 2005. Neoliberalism: Critical Reader. London:
Pluto Press.
Stopford, John. 2009. The Skillfull Self: Liberalism, Culture, and the Politics of Skill. London:
Lexington Books.
Turner, Rachel. S. 2008. Neo-Liberal Ideology: History, Concepts and Policies. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Venn, Couze. 2006. The Postcolonial Challenge: Toward Alternatif Worlds. London: Sage
Publications.
DOI: https://doi.org/10.26499/jentera.v1i1.17
Refbacks
- There are currently no refbacks.