BATARI HIYANG JANAPATI DALAM PERSPEKTIF GENDER
Abstract
The life of Indonesian society is dominant with patriarchal culture that puts women always under the shadow of men. In, the perception of social structure of society, women are always underestimated. In Indonesia, many women are also oppressed and abused. Women in a patriarchal culture are always considered helpless and should always be dependent on men, in the Sundanese language proverb, there is an "awewe mah dulang tinande" proverb which means that women are in the second class after men. In everyday life, women are positioned in the domestic sphere, whose activities and work are limited only around wells, kitchens and mattresses. Women's duties only serve the husband, are at home and take care of the child. But now, along with the progress and development of the era, the role and position of women began to change toward equality and equality. The dominance of patriarchal culture in Indonesia, in contrast to some ancient Sundanese script and inscription records, it turns out there are ancient Sundanese women already have the spirit of equality and equality with men. The figure of this woman is a brave, clever, ingenious figure, intellectual, a brave warlord, agile and nimble, as well as a batari 'religious teacher' in his day, as revealed in the Inscription Geger Hanjuang and Galunggung Mandate Text is named Batari Hyang Janapati . This paper aims to reveal the gender issues revealed through Sundanese texts and inscriptions, judging by the role, position, and motives behind them, through the gender approaches in social, literary, and cultural contexts in texts and inscriptions.
Abstrak
Kehidupan masyarakat Indonesia dominan dengan budaya patriarki yang menempatkan perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki. Dalam, persepsi struktur sosial masyarakat, perempuan selalu dipandang sebelah mata. Di Indonesia juga ditengarai banyak perempuan yang tertindas dan dilecehkan. Perempuan dalam budaya patriarki selalu dianggap tidak berdaya dan harus selalu bergantung kepada laki-laki, dalam pribahasa bahasa Sunda, ada pribahasa “awewe mah dulang tinande” yang berarti mengharuskan perempuan ada dalam kelas kedua setelah laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan diposisikan ada dalam ranah domestik, yang aktivitas dan perkerjaanya dibatasi hanya seputar sumur, dapur dan kasur. Tugas perempuan hanya melayani suami, berada di rumah dan mengurus anak. Namun saat ini, seiring dengan kemajuan dan perkembangan jaman, peran dan kedudukan perempuan mulai berubah menuju kesejajaran dan kesetaraan. Dominannya budaya patriarki di Indonesia, bertolak belakang dengan beberapa catatan naskah dan prasasti Sunda kuno, ternyata ada perempuan Sunda zaman dahulu sudah memiliki semangat kesejajaran dan kesetaraan dengan laki-laki. Sosok perempuan ini merupakan sosok yang gagah berani, pandai, cerdik, cendekia, seorang panglima perang yang gagah berani, tangkas dan cekatan, sekaligus seorang batari ‘guru agama’ pada zamannya, sebagaimana terungkap dalam Prasasti Geger Hanjuang dan Naskah Amanat Galunggung bernama Batari Hyang Janapati. Tulisan ini bertujuan mengungkap masalah gender yang terkuak lewat naskah dan prasasti Sunda, dilihat dari peran, kedudukan, dan motif yang melatarbelakanginya, melalui pendekatan gender dalam sosial, sastra, dan budaya yang ada dalam naskah dan prasasti.
Keywords
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)References
Atja, dan Saleh Danasasmita. (1981). Carita ParaHyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ayatrohaedi. (1981). “Peranan Benda Purbakala dalam Historiografi Tradisional” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Penelitian dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Dep. Dik. Bud. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Danasasmita, Saleh. Ya Nu Nyusuk na Pakwan .Bandung: Lembaga Kebudayaan
Unpad.
Danasasmita, Saleh, dkk. (1987). Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Sundanologi.
Darma, Budi. (2011). ”Penciptaan Naskah Drama Ambu Hawuk Berdasarkan Tradisi Lisan dan Pesfektif Jender”. Jurnal Resital, 12 (1), 55-64.
Ekadjati, Edi Suhardi. (2006). Nu Maranggung Dina Sajarah Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
Fakih, Mansoer. 1997. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mandy Mc Donald, E. Sprenger, I Dubel. (1999). Gender dan Perubahan Organisasi. Amsterdam: INSIST dan REMDEC.
Seri Sundalana 5. (2006). Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
Sunardjo, Unang, dkk. (1978). (Tim Penyusun). Hari Jadi Tasikmalaya. Tasikmalaya: Pemerintah Daerah TK. II Tasikmalaya.
Suryani NS, Elis. (2011). “Batari Hyang Janapati Pelopor Srikandi Indonesia”. Bandung: Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Suryani NS, Elis. (2012). “Awewe Dulang Tinande”. Bandung: Opini Pikiran Rakyat.
Suryani NS, Elis. (2016). Srikandi Indonesia. Bandung: Opini Pikiran Rakyat.
DOI: https://doi.org/10.26499/jentera.v6i2.177
Refbacks
- There are currently no refbacks.