PERJUANGAN PEREMPUAN SANTANA MASA KOLONIAL DALAM NOVEL GOGODA KA NU NGARORA KARYA M.A. SALMUN

Asep Yusup Hudayat

Abstract


Artikel ini mengungkap perjuangan perempuan santana (kelas menengah) pada masa kolonial yang direpresentasikan dalam novel Gogoda ka nu Ngarora karya M.A. Salmun. Perjuangan perempuan santana  tidak saja melekat kepada upaya pembebasan diri dari banyak kungkungan patriarki tetapi juga ditunjukkan melalui cara perempuan santana menempatkan diri sebagai subjek yang “belajar” dari budaya kolonial. Budaya kolonial diterima perempuan santana untuk mengembangkan wawasannya, juga dijadikan sebagai sumber-sumber peniruan. Gogoda ka nu Ngarora “Godaan bagi Kaula Muda” karya M.A. Salmun yang berkisah tentang kaum pribumi pada tahun 1870-an hingga 1880-an merepresentasikan perjuangan perempuan santana dalam kungkungan feodalisme melalui penerimaan atas modernitas yang dibawa pihak kolonial. Cara-cara penerimaan perempuan santana yang dipicu kesadaran untuk menuntut hak-haknya dalam semangat demokrasi menjadi penting untuk dijejak berdasarkan perspektif postkolonial. Berdasarkan perspektif postkolonial, Bhaba (dalam Loomba, 2003: 229-236) menyebutkan bahwa wacana kolonial mendorong subjek terjajah untuk 'meniru' penjajah, dengan mengadopsi budaya, kebiasaan, asumsi, dan nilai-nilai yang hasilnya tidak pernah sederhana menyangkut reproduksi sifat-sifat. Tiruannya bersifat kabur dan tidak pernah jauh dari ejekan atau parodi dalam ketidakpastian kontrol perilaku terjajah (pribumi) dalam dominasi kolonial. Dengan demikian, masalah pokok yang akan dijawab dalam penelitian  ini  adalah bagaimana perempuan santana mengadopsi dan mengekspresikan kebudayaan kolonial dalam kepentingan perjuangan menuntut hak-haknya melalui pengungkapan praktik mimikri yang dilakukan perempuan santana pribumi secara dialektis. Hasil penelitian ini adalah perempuan santana ditempatkan dalam Gogoda ka nu Ngarora untuk menyangkal dan menggugat  kesewenangan kaum ménak. Adapun kaum ménak yang dilemahkan adalah bentuk pembelaan Salmun terhadap santana dan cacah. Semangat meruntuhkan penindasan kaum ménak dilakukan perempuan santana melalui mimikri yang mengarah kepada tindakan mengolok-olok kaum ménak sekaligus untuk menggangu otoritas utama, yaitu kolonial.

 

Kata kunci: perempuan, kelas menengah, mimikri, kolonial

 

 

Abstract

This article aims to describe the ‘santana’ (middle class) women's struggle during the colonial period as represented in the novel “Gogoda ka nu Ngarora” by M.A. Salmun. The ‘santana’ women's struggle was related to efforts to free themselves from many patriarchal confinements. This is also shown by the way that ‘santana’ women positioned themselves as subjects who "learned" from colonial culture. The colonial culture was accepted by ‘santana’ women in developing their horizons, also colonial culture was used as sources of imitation. “Gogoda ka nu Ngarora” "Temptation for Youths" by M.A. Salmun, which tells the story of the natives from the 1870s to 1880s, represents the struggle of ‘santana’ women in the confines of feudalism through acceptance of modernity brought by the colonial side. The ways of accepting ‘santana’ women which are triggered by awareness to demand their rights in the spirit of democracy are important to be traced based on a post-colonial perspective. Based on a post-colonial perspective, Homi Bhabha (in Loomba, 2003: 229-236) states that colonial discourse encourages colonized subjects to 'imitate' the colonizer, by adopting culture, habits, assumptions, and values whose results are never simple regarding the reproduction of traits. Its imitation is vague and is never far from ridicule or parody of the uncertainty of control over the behavior of the colonized (natives) in colonial domination. Thus, the main problem that will be answered in this article is how ‘santana’ women adopted and expressed colonial culture in the interests of struggling to claim their rights through dialectical disclosure of mimicry practices carried out by indigenous ‘santana’ women. The result of this research is that ‘santana’ women are placed in “Gogoda ka nu Ngarora” to deny and sue the abuses of men. As for the people who are weakened, they are defending M.A. Salmun for ‘santana’ and ‘cacah’ (low class). The spirit of overthrowing the oppression of the aristocracy was carried out by ‘santana’ women through mimicry which resulted in the act of mocking the aristocracy as well as disturbing the main authority, namely the colonial.

 

Keywords: women, middle class, mimicry, colonial

Keywords


perempuan, kelas menengah, mimikri, kolonial,women, middle class, mimicry, colonial

References


Bhabha, Hommi K.(2004). The Location of Culture. London and New York: Routledge Classics

Drayton, Richard. 2009. “Race, Culture, and Class European Hegemony and Global Class Formation, Circa 1800–1950” dalam The Global Bourgeoisie the Rise of the Middle Classes in the Age of Empire, Editor: Christof

Dejung, David Motadel, Jürgen Osterhammel. 41 William Street, Princeton, New Jersey 08540 6 Oxford Street, Woodstock, Oxfordshire OX20 1TR: princeton university press princeton & oxford

Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture: Overseas. Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Terjemahan JugiarieSoegiarto & Suma Riella Rusdiarti. Jakarta: Serambi.

Herlina, Nina. 1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda

Hellwiq, Tineke. 2001. “Asian women in the lives of Dutch tea planters: Two narratives from West Java”, Indonesia and the Malay World, 29:85, 161-179, DOI: 10.1080/13639810120102049

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/ pascakolonialisme. diterjemahkan Hartono Hadikusumo Yogyakarta: Narasi

Murwani, Christina Dewi Tri. 2013. Representasi Perlawanan Pribumi Masa Peralihan Abad Ke-19 Sampai Ke-20 di Hindia Belanda dalam Novel De Stille Kracht (Karya Louis Couperus) dan Bumi Manusia (Karya Pramoedya Ananta Toer). Disertasi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dagjah Mada.

Rosidi, Ajip. 2002. Beber Layar. Cetakan ketiga. Bandung: Kiblat.

Said, Edward W. 2017. Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan. Penerjemah:

Hartono Hadikusuma & E. Setiyawati Alkhatab. Yogyakarya: Narasi.

Salmun, M.A. 1966. Gogoda ka nu Ngarora. Cetakan kedua. Bandung-Jakarta: Pusaka Sunda & Balai Pustaka.

Van der Meer, Arnout Henricus Cornelis. 2014. Ambivalent Hegemony: Culture and Power in Colonial Java, 1808-1927. Disertasi. New Brunswick, New Jersey: The Graduate School-New Brunswick Rutgers, The State University of New Jersey




DOI: https://doi.org/10.26499/jentera.v10i1.3536

Refbacks

  • There are currently no refbacks.