Mengungkap Makna Simbolik dalam Khazanah Leksikon Etnoarsitektur Hijau Keraton (Kajian Etnolinguistik di Keraton Kasepuhan Cirebon)

Epi Yuningsih

Abstract


The palace is an important part of the social and cultural center of a society, the local wisdom embedded in the Keraton Kasepuhan Cirebon building reflects the concept of sustainable development. This is an inseparable part of the language and cultural facts about the palace. Local knowledge that becomes the local wisdom of a community in the palace building has the potential to contribute to the state to exercise sustainable development authority, so that current and future developments still pay attention to the harmony of nature. This study aims to reveal the symbolic meaning of green ethnoarchitecture as a disaster mitigation effort to address the issue of Sustainable Development Goals (SDGs) or sustainable development recorded in the ethnoarchitecture lexicon of the Keraton Kasepuhan Cirebon. The approach used to study this phenomenon is relevant to be studied using an ethnolinguistic approach. Language data in the form of an ethnoarchitecture lexicon was analyzed using a qualitative descriptive method. Data collection techniques in the form of observation, interviews, and documentation. The results show that based on the description of the palace building, the architectural lexicon can be classified based on the type, section, and building material. The lexicon in addition to having a lingual function also has a symbolic meaning. The concept of green architecture is the use of sustainable building materials. The materials used meet the principles of green architecture as a reference for community disaster mitigation from potential disasters to support the creation of sustainable development goals by the goals of the SDGs.

 

Abstrak

Keraton merupakan bagian penting dari pusat sosial dan budaya suatu masyarakat, kearifan lokal yang tertanam dalam bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon mencerminkan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari fakta bahasa dan budaya mengenai keraton tersebut. Pengetahuan lokal yang menjadi kearifan lokal suatu masyarakat dalam bangunan keraton berpotensi memberikan sumbangsih bagi negara untuk menjalankan otoritas pembangunan yang bersifat berkelanjutan, sehingga pembangunan yang dijalankan saat ini dan nanti masih memerhatikan keselarasan alam. Kajian ini bertujuan untuk mengungkap makna simbolik etnoarsitektur hijau sebagai upaya mitigasi bencana menyikapi isu Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan yang terekam dalam leksikon etnoarsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon. Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji fenomena ini relevan dikaji menggunakan pendekatan etnolinguistik. Data bahasa berupa leksikon etnoarsitektur yang dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan deskripsi bangunan keraton, leksikon arsitektur dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis, bagian, dan bahan bangunan. Leksikon tersebut selain mempunyai fungsi lingual, juga memiliki makna simbolik. Adapun konsep arsitektur hijau berupa penggunaan material bangunan yang berkelanjutan. Bahan yang digunakan memenuhi prinsip green architecture sebagai acuan mitigasi bencana masyarakat dari potensi bencana sehingga menopang terciptanya tujuan pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan tujuan SDGs.


Keywords


symbolic meaning; green ethnoarchitecture; Kasepuhan Palace; SDGs

References


Abdullah, W. (2014). Etnolinguistik: Konsep Teoretis, Metode dan Aplikasinya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Agustina, I. H., Ekasari, A. M., & Fardani, I. (2018). Sistem Ruang Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan. Ethos (Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), 6(1), 68-81. https://doi.org/https://doi.org/10.29313/ethos.v6i1.3543

Chaer, A. (2007). Leksikologi & leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaerosti, L. (1990). Tata ruang dan tata bangunan keraton-keraton di Cirebon. Universitas Indonesia.

Folley, W. A. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, (2002).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, (2010).

Karsana, D. (2019). Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili: Pemanfaatan Kearifan Lokal. Multilingual, 18(1), 1-21. https://doi.org/10.26499/multilingual.v18i1.100

Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mudjiyanto, B., & Nur, E. (2013). Semiotika dalam Metode Penelitian Komunikasi. Jurnal Penelitian Komunikasi, Informatika dan Media Massa, 16(1), 73-82. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30818/jpkm.2013.1160108

Pranowo, N. F. N., & Firdaus, W. (2020). Penggunaan Bahasa Nonverbal dalam Upacara Adat Pernikahan Gaya Yogyakarta: Kajian Simbolik Etnopragmatik. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(1), 35-55.

Putra, H. S. A. (2008). Ilmuwan budaya dan revitalisasi kearifan lokal : Tantangan teoritis dan metodologis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Robert Bogdan, S. J. T. (1975). Introduction to qualitative research methods: a phenomenological approach to the social sciences. New York: John Wiley & Sons.

Rosmalia, D. (2018). Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon. Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI), 2(B), 74-82. https://doi.org/10.32315/sem.2.b074

Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa : pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. (1996). Linguistik : Identitasnya, Cara Penanganan Objeknya, dan Hasil Kajiannya. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Veerhaar, J. V. M. (2004). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.




DOI: https://doi.org/10.26499/rnh.v11i1.4495

Refbacks

  • There are currently no refbacks.